Malapetaka MBG : Program Superfisial Tanpa Solusi

Opini65 Dilihat

Oleh Diajeng Kusumaningrum, S.Hut

Eskalasi kasus keracunan MBG semakin meningkat. Kepala Badan Gizi Nasional Dadan Hindayana mengatakan total jumlah korban keracunan akibat mengkonsumsi makan bergizi gratis (MBG)sejak Januari 2025 telah mencapai 6.517 orang, dengan kasus keracunan terbanyak di pulau Jawa yaitu 45 kasus (1). Bahkan di Bandung Barat dan Garut, kasus keracunan MBG ditetapkan sebagai KLB (Kejadian Luar Biasa).

Meskipun belum ada korban tewas akibat konsumsi MBG, namun angka korban keracunan yang demikian tinggi mengindikasikan ada masalah yang ekstra serius yang menyebabkan para pelajar dan bahkan pengajar tergolek di Rumah Sakit, padahal mereka berangkat sekolah dalam kondisi sehat wal afiat. Wacana penyelenggaraan MBG untuk mencapai tujuannya semakin jauh panggang dari api.

DPR mengkritik MBG ini sebagai upaya kemanusiaan agar program tak menjadi bencana kesehatan dengan menyebut plesetan “MBG” menjadi ‘Makan Beracun Gratis’. Ini adalah sindiran atas gagalnya pengelolaan MBG. Beberapa kalangan akademisi juga menyoroti aspek ‘lost of trust’ masyarakat terhadap program pemerintah karena insiden keracunan ini titik mereka menuntut transparansi dalam investigasi dan penegakan akuntabilitas pihak penyedia MBG (6).

Keracunan MBG disebabkan faktor teknis dan biologis sebagai berikut: secara teknis dan manajerial; Pembelian bahan baku dilakukan 4 hari sebelum pengolahan (H-4), bertolak belakang dengan SOP pembelian H -2 agar bahan segar; penyimpanan dan pengolahan yang tidak higienis; kurang pengawasan ketat dari pemerintah dan badan gizi nasional. Sedangkan secara biologis dan kimiawi, ditemukan 8 bakteri patogen yaitu Salmonella, E. coli, Bacillus stereous, Staphylococcus aureus, dll, 2 . virus; yaitu norovirus dan Hepatitis A, serta kemungkinan kontaminasi bahan kimia berbahaya seperti logam berat dan toksin mikotik. Bakteri berasal dari bahan makanan dan air yang terkontaminasi. Siswa dan bahkan guru memiliki deteksi terhadap makanan berbahaya yang sangat terbatas, yaitu hanya via indra penciuman dan visual, sehingga makanan yang tampak normal bisa jadi beracun (7).

Program Superfisial Nir Solusi

Ilustrasi Dapur Makan Bergizi Gratis (Dok. Liputan6)

MBG merupakan program janji politik kubu Presiden Prabowo yang bertujuan meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan masyarakat, serta memberikan dampak positif pada pertumbuhan ekonomi negara. Namun, alih alih meningkatkan kesehatan, MBG telah memperburuk kondisi kesehatan ribuan pelajar di seluruh negeri.

Dampak positif pada pertumbuhan ekonomi pun belum terealisasi, sebaliknya puluhan ribu pekerja (buruh) terpaksa menjadi pengangguran karena kena PHK akibat instansi pemerintah berbondong-bondong memangkas alokasi belanja demi memuluskan efisiensi anggaran untuk MBG sebagai program prioritas Presiden Prabowo. (2)

Pemerintah telah mengalokasikan dana sebesar Rp 71 Triliun dari APBN untuk penyelenggaraan program ini. Jumlah dana anggaran ini didapat dari sumber pajak, pendapatan negara bukan pajak, dan pinjaman (3). Meskipun Menkeu saat itu, Sri Mulyani, mengklaim bahwa anggaran ini bersifat tambahan, tidak berasal dari DAK (Dana Alokasi Khusus), DAU (Dana Alokasi Umum), dan anggaran pendidikan, namun anggaran ini berpotensi menambah hutang negara, mengingat besarnya dana yang dibutuhkan (4).

Penggunaan anggaran MBG juga disinyalir rawan korupsi karena beberapa alasan; 1. Pengadaan barang dan jasa yang tidak transparan, 2. Lemahnya pengawasan, 3, konflik kepentingan, 4. Risiko kerugian keuangan negara (5).

Secara teoritis dan praktis, negara dianggap gagal mengemukakan solusi terhadap permasalahan stunting dan gizi buruk yang terjadi di negara ini. Kurangnya asupan makanan bergizi sering dianggap sebagai biang masalahnya, padahal penerapan sistem ekonomi yang salah adalah biang keroknya.

Sistem ekonomi kapitalis telah membuat anak bangsa kesulitan mencari nafkah, kalaupun ada pekerjaan, upahnya tidak sesuai dengan kebutuhan hidup yang semakin melonjak di era kapitalis. Apabila tingkat kesejahteraan memburuk, maka menurunlah kemampuan rakyat untuk memenuhi kebutuhan gizinya.

Program pemerintah untuk memberi makan langsung, sekali sehari, dalam 5 hari kerja, mencerminkan cara berpikir superfisial atau dangkal. Bahkan masyarakat awam saja paham bahwa tidak mungkin memperbaiki status gizi dengan memberikan satu nampan makanan alakadarnya, yang kadang tak memenuhi standar gizi bahkan basi.

Menyantuni dengan cara memberi makanan secara langsung adalah tanggung jawab level individual. Level negara adalah meng ‘create’ sistem yang meningkatkan kemampuan masyarakat memenuhi status gizinya.

Hal yang dimaksud adalah mempersembahkan sistem ekonomi yang ramah terhadap iklim usaha, bebas pajak, membuka lapangan kerja bagi rakyat, mengelola pemasukan negara demi melayani rakyatnya – bukan untuk memperkaya pejabat. Sehingga bisa dikatakan MBG ini tidak menghadirkan solusi (nir solusi), bahkan menambah masalah masalah baru, yaitu PHK puluhan ribu pekerja dan tumbangnya kesehatan ribuan siswa akibat keracunan makanan.

Pandangan Islam mengenai MBG

Ilustrasi Al-Quran (Dok. Detik)

Rasulullah memang mengajarkan untuk menyantuni fakir miskin dan orang-orang terlantar. Namun itu apabila mereka tidak mampu untuk berusaha. Sedangkan terhadap individu rakyat yang masih memiliki fisik dan sehat yang sehat dan memiliki kemampuan untuk bekerja maka Rasulullah menuntun mereka untuk berusaha.

Anas bin Malik menceritakan bahwa suatu ketika ada seorang pengemis dari kalangan Anshar datang meminta-minta kepada Rasulullah SAW. Lalu beliau bertanya kepada pengemis tersebut “Apakah kamu mempunyai sesuatu di rumahmu? ” pengemis itu menjawab, “Tentu, saya mempunyai pakaian yang biasa dipakai sehari-hari dan sebuah cangkir”. Rasul lalu langsung berkata “ambil dan serahkan ke saya”.

Lalu pengemis itu menyerahkannya kepada Rasulullah, kemudian Rasulullah menawarkannya kepada para sahabat “Adakah diantara kalian yang ingin membeli ini?” Seorang sahabat menyahut, “saya beli dengan satu dirham” Rasulullah menawarkannya kembali “Adakah di antara kalian yang ingin membayar lebih? ”

Lalu ada seorang sahabat yang sanggup membelinya dengan harga 2 Dirham. Rasulullah menyuruh pengemis itu untuk membelanjakannya makanan untuk keluarganya dan selebihnya Rasulullah menyuruhnya untuk membeli kapak.

Rasulullah bersabda “Carilah kayu sebanyak mungkin dan juallah, selama 2 minggu ini aku tidak ingin melihatmu” sambil melepas kepergiannya Rasulullah pun memberinya uang untuk ongkos. Setelah 2 minggu pengemis itu datang kembali menghadap Rasulullah sambil membawa uang 10 dirham hasil dari penjualan kayu.

Lalu Rasulullah menyuruhnya untuk membeli pakaian dan makanan untuk keluarganya Seraya bersabda “hal ini lebih baik bagi kamu karena meminta-minta hanya akan membuat noda di wajahmu di akhirat nanti…. ” (HR. Abu Dawud).

Demikianlah Rasulullah menyelesaikan masalah seorang fakir yang tak mampu membeli makanan untuk keluarganya. Rasulullah mencarikan solusi modal awal untuk bekerja (menjualkan pakaiannya untuk membeli kapak) kemudian menyuruhnya untuk membelikan hasilnya untuk menafkahi keluarganya.

Dengan demikian Rasulullah juga membentuk ‘pride’/kebanggaan dan kehormatan seorang kepala keluarga sebagai pencari nafkah, serta kebahagiaan ketika sang kepala keluarga merasa mampu menafkahi keluarganya dengan layak.

MBG sesungguhnya tidak lahir sebagai kepedulian seorang kepala negara terhadap nasib rakyatnya, namun MBG dijadikan sebagai alat politik program prioritas paslon Presiden dan Wapres. Hal ini terlihat dari keengganan pemerintah untuk menghentikan program MBG untuk sementara dan dievaluasi terlebih dahulu, namun malah tetap dilanjutkan karena kekhawatiran pemberhentian MBG akan dijadikan bulan bulanan oleh lawan politik pemerintah (oposisi).

Pengangkatan Kepala Badan Gizi Nasional dari kalangan non ahli gizi yaitu Dadan Hindayana seorang Entomolog /Ahli Serangga, beserta jajaran stafnya yang juga bukan ahli gizi, mencerminkan pemerintah menganggap enteng program MBG, padahal proses penyiapan bahan, pemasakan/pengolahan, penyimpanan dan pendistribusian makanan dalam skala besar/ribuan porsi per dapur MBG memerlukan ilmu dan keahlian spesifik.

Sangat disayangkan, dana sedemikian besar yang digelontorkan untuk MBG tidak optimal dirasakan manfaatnya oleh rakyat, apalagi target sasaran program MBG ini (anak anak dan ibu hamil).
Demikianlah, sistem kapitalis demokrasi hanya menjadi ‘makanan bergizi’ sebagai wacana alat politik yang rentan korupsi dan permasalahan bahkan menimbulkan malapetaka. Hanya dengan menerapkan sistem Islam yang dapat menjadikan ‘makanan bergizi’ tidak lagi merupakan barang mewah, karena sistem Islam dapat mewujudkan kesejahteraan ekonomi masyarakat, dan menegakkan hukum berdasarkan ketaqwaan kepada Allah SWT.

Komentar