Gaza (Riaunews.com) – Warga Palestina di Gaza menyambut dengan harapan dan kehati-hatian kabar disetujuinya gencatan senjata tahap pertama antara Hamas dan Israel. Kesepakatan ini diharapkan dapat mengakhiri perang serta genosida yang telah menewaskan ratusan ribu warga selama dua tahun terakhir.
Dalam kesepakatan tersebut tercantum pembebasan sandera dan penarikan bertahap pasukan Israel dari wilayah Gaza. Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump, yang menjadi pemrakarsa perjanjian, menyebut langkah ini sebagai “awal menuju perdamaian yang kuat dan abadi.” Deklarasi resmi dilakukan di Sharm El-Sheikh, Mesir, dengan mediasi Turki, Mesir, Qatar, dan AS.
Meski gencatan senjata disambut baik oleh berbagai pihak, banyak warga Gaza menahan diri untuk tidak terlalu cepat bergembira. Mereka masih dihantui trauma kegagalan gencatan sebelumnya yang selalu berakhir dengan kekerasan baru. “Saya tidak mau terlalu cepat merayakannya,” ujar Roba, seorang perempuan Gaza yang kehilangan rumah dan pekerjaannya.
Roba menuturkan, lebih dari 90 persen pemukiman di Gaza telah hancur akibat serangan militer Israel. “Apa yang terjadi ke depan bisa jadi sama kerasnya dengan genosida selama dua tahun ini,” katanya dengan nada pesimis.
Sementara itu, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengumumkan rencana rekonstruksi senilai USD7 miliar (Rp115,7 triliun) untuk membangun kembali rumah sakit, klinik, dan infrastruktur penting di Gaza. Upaya ini dinilai menjadi langkah awal menuju pemulihan dan perdamaian jangka panjang.
Menurut catatan UNICEF, sekitar 64 ribu anak di Gaza telah tewas atau terluka sejak perang dimulai dua tahun lalu. Meski masih dirundung ketidakpastian, sebagian warga berharap kali ini perdamaian benar-benar bisa bertahan.
Komentar