opini  

Nestapa Kota Minyak: Gagalnya Kapitalisme Mengurus Sumber Daya Alam

Antrian Panjang SPBU di Balikpapan (Sumber: Balikpapan TV)

Oleh: Devi Ramaddani, Aktivis Muslimah

Balikpapan adalah kota yang menyandang julukan Kota Minyak, karena di kota inilah berdiri kilang minyak dan gas terbesar di Indonesia. Kilang ini bahkan tercatat sebagai kilang ketiga terbesar di Asia Tenggara, setelah Singapura. Namun ironisnya, masyarakat Balikpapan justru mengalami kelangkaan BBM.

Balikpapan tengah menghadapi krisis bahan bakar minyak. Sudah empat hari sejak Sabtu, 17 Mei 2025, semua stasiun pengisian bahan bakar umum atau SPBU di kota ini tak menyediakan pertamax (research octane number/RON 92). Berdasarkan laporan Kaltim Kece, beberapa pom bensin bahkan berhenti beroperasi. Sementara itu, SPBU yang masih buka dipadati kendaraan. Kondisi ini menyebabkan lalu lintas sempat kacau.

Sementara Prokal.co melaporkan fenomena kelangkaan BBM terjadi pula di Samarinda. Sejumlah pengendara kendaraan bermotor, baik roda dua maupun roda empat, harus menelan kekecewaan saat hendak mengisi bahan bakar minyak (BBM) di sejumlah stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) di Kota Samarinda. Salah satu SPBU yang mengalami kekosongan stok BBM adalah SPBU yang terletak di Jalan Urip Sumohardjo, Samarinda Ilir, Rabu (21/5/2025).

Dalam catatan sejumlah media nasional, kilang Balikpapan mampu memproduksi hingga 360.000 barel minyak per hari. (Kaltimkece.co, 20/5/2025). Sebuah angka yang luar biasa besar. Artinya, secara produksi, tidak ada alasan logis mengapa BBM langka di kota ini. Sayangnya, realitas berkata lain.

Ketika masyarakat Balikpapan atau Samarinda harus mengantre berjam-jam demi mendapatkan BBM, kita perlu bertanya lebih dalam, ada apa sebenarnya dengan pengelolaan energi di negeri ini? Apakah ini sekadar masalah teknis atau cerminan dari kegagalan sistemik?

Bayangkan, jika distribusi BBM terganggu satu hari saja, maka lumpuhlah transportasi publik, terhambatlah pengangkutan logistik, dan melemahlah aktivitas ekonomi rakyat kecil. Negara yang membiarkan kondisi ini tanpa solusi tuntas, patut dipertanyakan fungsi dan keberpihakannya.

Akar masalahnya bukan sekadar teknis. Kelangkaan ini adalah dampak sistemik dari sistem kapitalisme yang selama ini diterapkan oleh negara. Kapitalisme memandang sumber daya alam (SDA), termasuk migas, sebagai komoditas ekonomi, bukan sebagai milik publik.

Dalam kerangka kapitalisme, pengelolaan migas diserahkan kepada korporasi, baik perusahaan maupun asing. Negara hanya berperan sebagai regulator, bukan pengelola. Maka tak heran jika prioritas utama bukan pemenuhan kebutuhan rakyat, tapi keuntungan bisnis.

Pemerintah pun terikat pada logika pasar, bila harga dunia naik, distribusi terganggu, atau pasokan terhambat sedikit saja, maka rakyatlah yang pertama menjadi korban. Sistem ini benar-benar meniadakan fungsi negara sebagai ra’in (pengurus) bagi rakyatnya.

Ini bukan kali pertama kelangkaan BBM terjadi. Beberapa tahun terakhir, kelangkaan selalu berulang bahkan di kota-kota penghasil energi. Dan setiap kali itu terjadi yang muncul hanyalah solusi sementara tanpa menyentuh akar persoalan.

Sejak reformasi, sektor energi dan SDA dilibatkan dalam skema privatisasi. Undang-undang pun membuka jalan bagi korporasi swasta dan asing untuk mengelola SDA termasuk migas yang seharusnya menjadi milik seluruh rakyat Indonesia.

Hal ini jelas bertentangan dengan Islam. Dalam pandangan Islam, SDA strategis seperti migas adalah milik umum (milkiyah ‘ammah), bukan boleh dimiliki oleh individu atau korporasi. Negara wajib mengelola langsung dan hasilnya dikembalikan kepada rakyat.

Rasulullah ﷺ bersabda, “Kaum muslim berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api.” (HR. Abu Dawud). “Api” dalam hadis ini mencakup segala sumber energi, termasuk minyak dan gas. Artinya, tidak boleh dikuasai swasta, apalagi diperdagangkan demi keuntungan segelintir orang.

Islam menetapkan bahwa negara wajib menjadi pengelola, distributor, dan penjamin pemanfaatan SDA bagi seluruh rakyat secara adil. Negara tidak boleh menjadi makelar antara rakyat dan korporasi.

Dalam sistem Islam (khilafah), distribusi BBM akan ditanggung sepenuhnya oleh negara. Rakyat mendapat akses yang adil, dan harga BBM tidak mengikuti pasar, tetapi ditentukan oleh negara berdasarkan kemaslahatan umum.

Kilang-kilang migas seperti di Balikpapan atau Samarinda akan dikelola langsung oleh negara di bawah departemen khusus. Hasilnya bukan untuk ekspor semata, tapi untuk menjamin kebutuhan energi dalam negeri terlebih dahulu, secara merata dan aman.

Sistem Islam bukan sekadar mimpi atau utopia. Dalam sejarahnya, Khilafah mampu mengelola kekayaan alam dengan sangat efektif. Di bawah Khilafah Utsmaniyah, negara bahkan mendistribusikan listrik, air, dan bahan bakar secara luas kepada rakyat, tanpa memperkaya segelintir korporat.

Kembali ke sistem Islam adalah keniscayaan. Terutama ketika rakyat terus mengalami penderitaan akibat sistem kapitalisme yang rakus, zalim, dan tidak peduli pada kepentingan umum.

Kita tidak bisa berharap solusi dari sistem yang rusak. Kita juga tidak bisa menyelesaikan masalah BBM dengan tambal sulam kebijakan subsidi atau operasi pasar. Yang dibutuhkan adalah perubahan sistemik dan ideologis.

Oleh karena itu, seruan untuk kembali kepada Islam sebagai ideologi yang mengatur seluruh aspek kehidupan —termasuk ekonomi, energi, dan kepemilikan umum— harus terus dikumandangkan. Ini bukan pilihan, tapi satu-satunya jalan keselamatan.

Umat Islam harus sadar, bahwa liberalisasi SDA adalah bentuk penjajahan baru. Kita harus bangkit untuk menuntut penerapan syariah Islam secara kaffah. Hanya dengan sistem ini, energi akan dikelola adil, rakyat akan sejahtera, dan negara benar-benar menjadi pelayan umat.